Soal RUU KIA yang Atur 6 Bulan Cuti Melahirkan, Pengusaha Wanti-wanti Hal Ini

Jakarta – Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sedang membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Dalam RUU KIA ada yang mengatur mengenai enam bulan cuti melahirkan untuk perempuan.
Menanggapi hal itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) meminta DPR dan pemerintah menggunakan studi yang komprehensif. Artinya, memikirkan dampak baik dan buruknya termasuk untuk pekerja perempuan dan perusahaan.

“Kita mesti tahu nanti efeknya ke bidang yang lain. Apakah semata-mata 100% menguntungkan atau malah merugikan, antara lain dikaitkan dengan produktivitas pekerja perempuan. Oleh karena itu harus ada studi yang komprehensif,” kata Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton Supit.

Kemudian, menurutnya pemerintah dan DPR juga harus membandingkan kebijakan itu dengan negara lainnya. Hal ini dilakukan untuk menimbang apakah kebijakan yang akan diambil tepat atau tidak.

“Kita tahu kalau sudah menjadi negara maju kita harus memberikan yang terbaik bagi masyarakat, tetapi apakah sudah tepat? Itu sebabnya perlu untuk memperhatikan kondisi negara lain,” jelasnya

Lalu, terkait cuti enam bulan untuk perempuan setelah melahirkan juga perlu dipertimbangkan. Saat ini untuk cuti melahirkan yang berlaku selama bulan. Namun, menurutnya jika ditambah tiga bulan lagi akan berdampak pada kekosongan posisi.

“Terpaksa kan perusahaan mencari pengganti di posisi tersebut. Bukan berarti di-PHK. Tetapi misalnya kalau suatu posisi penting diisi oleh seorang perempuan, kemudian melahirkan dan cuti enam bulan, apakah perusahaan membiarkan posisi si perempuan itu kosong? Apa lagi posisi yang penting, katakanlah manajer,” terangnya.

Tidak hanya itu, pengusaha juga meminta kebijakan ini juga berlaku merata, baik untuk swasta, TNI, Polri, dan ASN. Anton juga berharap setiap kebijakan juga berlaku untuk UMKM.

“Kalau hanya berlaku untuk swasta artinya diskriminasi. Kalau mau bikin untuk berlaku semua dong, masa di TNI, Polri, PNS tidak mendapat sebaik di swasta, harusnya baik juga. Untuk UMKM bagaimana, apakah mereka tidak punya hak cuti? Mestinya UU berlaku untuk semua,” tuturnya.

Untuk itu, pengusaha berharap agar kebijakan tersebut dikaji dengan komprehensif dan memikirkan bagaimana dampak pada bidang lainnya.

“Memang kewenangan ada di mereka, tetapi tolong dipikirkan, kita harap pembuat UU dan pemerintah tolong dikaji secara komprehensif,” tutupnya.

APINDO DKI Punya Formula Sendiri Tentukan UMP DKI 2023

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta

mengaku memiliki formula tersendiri untuk menentukan nilai upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2023. Wakil Ketua Apindo DKI Nurjaman berujar, ada tiga hal yang menjadi dasar formula itu, yakni prinsip, acuan, dan nilai. Menurut dia, Apindo DKI selaku unsur pengusaha menyebut bahwa UMP DKI 2023 berprinsip kepada peraturan.

“Prinsipnya adalah regulasi, aturan, dari undang-undang. Itu prinsipnya,” kata Nurjaman melalui sambungan telepon, Rabu (16/11/2022). Kemudian, ia menyebut, unsur pengusaha mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan untuk menentukan nilai UMP DKI 2023. Nilai UMP DKI 2023, lanjutnya, lantas tinggal mengikuti PP Nomor 36 Tahun 2021 dan faktor-faktor lainnya seperti nilai UMP DKI 2022. “Nah, acuannya PP Nomor 36 Tahun 2021. Angkanya (UMP DKI 2023) tinggal ngitung,” ucap Nurjaman.

Ia menambahkan, unsur pengusaha belum mengusulkan nilai UMP DKI 2023 saat Dewan Pengupahan DKI mengadakan sidang pengupahan perdana pada Selasa (15/11/2022). “Nah kemarin (saat sidang pengupahan perdana), kami belum sampai ke nilai. Karena kami masih melihat-lihat dulu. Sumber, basic, untuk UMP DKI 2023 belum ketahuan dari mana,” urai Nurjaman. Perwakilan Gerakan Buruh Jakarta Muhammad Toha sebelumnya menyatakan, sidang pengupahan perdana itu digelar secara tripartit antara buruh, pengusaha, serta pemerintah. Ia menegaskan, unsur buruh meminta UMP DKI 2023 tidak mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Sebab, menurut Toha, eks Gubernur DKI Anies Baswedan mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 1517 Tahun 2021 tentang UMP DKI Tahun 2022. Oleh karena itu, Gerakan Buruh Jakarta dan federasi/serikat buruh lain mengawal sidang Dewan Pengupahan DKI tersebut. Dalam kesempatan itu, Toha menegaskan bahwa unsur buruh meminta kenaikan UMP DKI 2023 sebesar 13 persen. Menurut dia, ada tiga hal yang menjadi dasar penentuan nilai persentase kenaikan UMP itu.

Ketiganya, yakni inflasi ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan kenaikan bahan bakar minyak (BBM). “Kenaikannya (UMP DKI 2023), kami berharap sekitar 13 persenan,” ucap Toha, di Balai Kota DKI, Selasa (15/11/2022). “Ada tiga hal (yang menjadi pertimbangan). Ada inflasi, pertumbuhan ekonomi, (dan) kompensasi BBM kemarin terjadi kenaikan,” lanjut dia. Adapun UMP DKI 2022 saat ini adalah Rp 4.641.854. Artinya, jika tuntutan buruh UMP naik 13 persen dipenuhi, angkanya menjadi Rp 5,4 juta.